Borobudur: Menelisik Keagungan Sejarah di Jantung Jawa
Pendahuluan
Candi Borobudur, sebuah mahakarya arsitektur kuno yang menjulang megah di tengah perbukitan hijau Magelang, Jawa Tengah, bukan sekadar tumpukan batu. Ia adalah saksi bisu perjalanan panjang peradaban, refleksi dari puncak kejayaan agama Buddha di Nusantara, dan simbol toleransi yang menginspirasi lintas generasi. Artikel ini akan mengupas Borobudur dari perspektif sejarah, menelusuri asal-usul, fungsi, makna filosofis, hingga tantangan pelestariannya di era modern.
Asal Usul dan Pembangunan Borobudur: Sebuah Misteri yang Terungkap
- Rentang Waktu Pembangunan: Secara umum, Borobudur diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra, antara abad ke-8 dan ke-9 Masehi. Rentang waktu yang panjang ini menunjukkan bahwa pembangunan candi ini melibatkan sumber daya manusia dan finansial yang sangat besar.
- Identitas Sang Pembangun: Identitas pasti arsitek dan raja yang memerintahkan pembangunan Borobudur masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Teori yang paling kuat mengaitkannya dengan Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra, namun bukti arkeologis yang konklusif masih terus dicari.
- Motivasi Pembangunan: Para ahli sepakat bahwa Borobudur dibangun sebagai tempat suci umat Buddha Mahayana. Namun, motivasi yang lebih dalam, seperti legitimasi kekuasaan, representasi kosmologi Buddha, atau bahkan tujuan politik tertentu, masih menjadi topik penelitian yang menarik.
Struktur dan Arsitektur: Refleksi Kosmologi Buddha
Borobudur memiliki struktur yang unik dan kompleks, berbeda dengan candi-candi Hindu-Buddha lainnya di Indonesia. Strukturnya terdiri dari:
- Enam Tingkat Persegi: Tingkat-tingkat ini melambangkan dunia kama-dhatu, atau dunia nafsu, tempat manusia masih terikat dengan keinginan duniawi. Relief-relief di tingkat ini menggambarkan kehidupan sehari-hari, cerita Jataka (kisah kelahiran Buddha), dan ajaran Karmawibhangga.
- Tiga Tingkat Bundar: Tingkat-tingkat ini melambangkan dunia rupa-dhatu, atau dunia bentuk, tempat manusia telah melepaskan diri dari nafsu, tetapi masih memiliki bentuk fisik. Di tingkat ini terdapat ratusan stupa kecil yang mengelilingi stupa induk yang terbesar.
- Stupa Induk: Stupa induk di puncak Borobudur melambangkan arupa-dhatu, atau dunia tanpa bentuk, tempat manusia mencapai nirwana, yaitu kebebasan mutlak dari segala penderitaan.
Arsitektur Borobudur bukan hanya indah secara visual, tetapi juga sarat makna filosofis. Setiap elemen, dari relief hingga stupa, memiliki simbolisme yang mendalam dan terkait dengan ajaran Buddha Mahayana.
Fungsi dan Makna Borobudur: Lebih dari Sekadar Tempat Ibadah
- Tempat Ziarah: Borobudur berfungsi sebagai tempat ziarah bagi umat Buddha dari berbagai penjuru dunia. Para peziarah berjalan mengelilingi candi, mengikuti alur relief, dan merenungkan ajaran Buddha.
- Media Pendidikan: Relief-relief di Borobudur berfungsi sebagai media pendidikan bagi masyarakat awam tentang ajaran Buddha. Kisah-kisah yang terukir di batu memberikan gambaran visual tentang konsep-konsep seperti karma, reinkarnasi, dan nirwana.
- Simbol Kekuasaan dan Legitimasi: Pembangunan Borobudur merupakan proyek ambisius yang menunjukkan kekayaan dan kekuasaan Dinasti Syailendra. Candi ini juga berfungsi sebagai simbol legitimasi kekuasaan, mengukuhkan kedudukan raja sebagai pelindung agama Buddha.
- Representasi Kosmologi: Borobudur merepresentasikan kosmologi Buddha, yaitu pandangan tentang alam semesta yang terdiri dari berbagai tingkatan eksistensi. Struktur candi mencerminkan perjalanan spiritual manusia dari dunia nafsu menuju nirwana.
Borobudur dalam Lintasan Sejarah: Masa Kejayaan dan Kemunduran
Setelah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-9, Borobudur mengalami masa kemunduran. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kemunduran ini adalah:
- Perpindahan Pusat Kekuasaan: Perpindahan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-10 menyebabkan Borobudur kehilangan dukungan finansial dan politik.
- Letusan Gunung Merapi: Letusan Gunung Merapi yang dahsyat diperkirakan menutupi Borobudur dengan abu vulkanik, menyebabkan candi ini terlupakan selama berabad-abad.
- Konversi Agama: Kedatangan agama Islam di Jawa pada abad ke-15 secara bertahap menggantikan agama Buddha dan Hindu, sehingga Borobudur tidak lagi menjadi pusat ibadah.
Penemuan Kembali dan Restorasi Borobudur: Upaya Menghidupkan Kembali Warisan Dunia
Borobudur ditemukan kembali pada abad ke-19 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris untuk Jawa. Sejak saat itu, berbagai upaya dilakukan untuk membersihkan, memelihara, dan merestorasi candi ini.
- Restorasi Awal: Restorasi awal dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, namun mengalami banyak kendala teknis dan finansial.
- Restorasi Skala Besar: Restorasi skala besar dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1975-1982. Proyek ini melibatkan para ahli dari berbagai negara dan menggunakan teknologi modern untuk memperkuat struktur candi dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
Tantangan Pelestarian Borobudur di Era Modern
Meskipun telah direstorasi, Borobudur tetap menghadapi berbagai tantangan pelestarian di era modern, di antaranya:
- Erosi Akibat Curah Hujan: Curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan erosi pada batu candi, terutama relief-relief yang rentan terhadap kerusakan.
- Pertumbuhan Lumut dan Jamur: Kelembaban udara yang tinggi memicu pertumbuhan lumut dan jamur yang dapat merusak permukaan batu candi.
- Gempa Bumi: Gempa bumi yang sering terjadi di Indonesia dapat mengancam stabilitas struktur candi.
- Peningkatan Jumlah Pengunjung: Peningkatan jumlah pengunjung dapat menyebabkan kerusakan fisik pada candi, seperti gesekan pada relief dan keausan pada lantai batu.
- Pencemaran Lingkungan: Pencemaran lingkungan, seperti polusi udara dan limbah domestik, dapat mempercepat kerusakan pada batu candi.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya pelestarian yang berkelanjutan, termasuk pemantauan kondisi candi secara berkala, perawatan rutin, dan pembatasan jumlah pengunjung.
Borobudur di Mata Dunia: Pengakuan sebagai Warisan Budaya Universal
Pada tahun 1991, Borobudur diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Pengakuan ini menegaskan nilai universal Borobudur sebagai mahakarya arsitektur dan simbol peradaban manusia. Status Warisan Budaya Dunia juga memberikan perlindungan hukum dan dukungan finansial untuk pelestarian Borobudur.
Kesimpulan
Borobudur bukan hanya sekadar candi, tetapi juga jendela menuju masa lalu yang gemilang. Ia adalah bukti nyata dari kecerdasan, kreativitas, dan spiritualitas masyarakat Nusantara pada masa lalu. Melalui kajian sejarah, kita dapat memahami makna dan fungsi Borobudur secara lebih mendalam, serta menghargai warisan budaya yang tak ternilai ini. Pelestarian Borobudur adalah tanggung jawab kita bersama, agar keagungan sejarahnya dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang.
Referensi (Contoh):
- Dumarçay, Jacques. (1978). Borobudur. Oxford University Press.
- Soekmono, R. (1976). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yayasan Penerbit Gadjah Mada.
- UNESCO. (n.d.). Borobudur Temple Compounds. Diakses dari [situs web UNESCO]