Keraton Yogyakarta, Sejarah, Warisan Budaya dan Spirit Jawa

Kraton Jogja dengan arsitektur Jawa yang agung dan elegan ini adalah sebuah istana sebagai tempat tinggal para Sultan, serta pusat pemerintahan dan pusat kebudayaan kota Yogyakarta.
Kraton Jogja merupakan daerah eksotis yang bernuansa Jawa tradisional di tengah-tengah pesatnya modernisasi kota pelajar ini. Terletak segaris lurus dengan Laut Selatan, Tugu Yogyakarta, dan Gunung Merapi. Banyak aspek kehidupan di dalam Keraton Jogja yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dan spirit Jawa dari zaman dahulu kala.
- 1. Arsitektur Kompleks Keraton Yogyakarta Sangat Menawan
- 1.1. Kompleks Keraton Yogyakarta Mengandung Nilai Sakral
- 1.2. Bangunan Keraton Yogyakarta Bernilai Seni Tinggi
- 1.3. Lambang Keraton Yogyakarta Memiliki Makna Filosofis
- 1.4. Menyimpan Koleksi Benda Kesultanan Keraton Yogyakarta
- 1.5. Kraton Jogja Berfungsi Sebagai Benteng Pertahanan
- 1.6. Pertunjukan Seni Tradisional di Kraton Jogja
- 2. Sejarah Singkat Berdirinya Keraton Jogja
Arsitektur Kompleks Keraton Yogyakarta Sangat Menawan
Kraton Jogja dibangun 200 tahun silam, tepatnya pada tahun 1755 hasil karya Sri Sultan Hamengku Buwono I yang saat masa muda beliau bernama Pangeran Mangkubumi Sukowati. Kemampuan beliau dalam bidang arsitek telah diakui oleh ilmuwan dari bangsa Belanda. Kompleks Kraton Yogyakarta menjadi salah satu contoh arsitektur istana Jawa terbaik.
Kompleks Keraton Yogyakarta Mengandung Nilai Sakral
Kraton Jogja terdiri dari gedong-gedong (joglo yang berdinding) dan bangsal-bangsal (joglo yang tidak berdinding), dibatasi oleh tembok tinggi, tebal dan kokoh dengan regol-regol (pintu gerbang). Membentang lurus dari utara ke Selatan, mulai dari Alun-Alun Utara hingga Alun-Alun Selatan. Setiap kompleks dan bangunan mengandung nilai simbolis dan sakral.
Desain bangunan ini juga menunjukkan bahwa Kraton Jogja, Tugu Pal Putih, Gunung Merapi, Panggung Krapyak dan Pantai Selatan berada dalam satu garis atau poros imajiner yang dipercaya sebagai hal yang keramat.
Bangunan Keraton Yogyakarta Bernilai Seni Tinggi
Bangunan-bangunan Kraton Yogyakarta yang bergaya arsitektur Jawa tradisional berseni memang menjadi daya pikat tiada dua. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Tiongkok.
Bangunan di setiap kompleks Kraton Yogyakarta umumnya berbentuk Joglo. Permukaan atap joglo berupa trapesium dengan warna keemasan, ditopang oleh tiang utama di tengah bangunan (Soko Guru) serta tiang-tiang lainnya. Tiang bangunan berwarna hijau gelap atau hitam khas warna cat Kraton Jogja, berhias ornamen indah.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsi dan jabatan penggunanya. Kelas utama atau tertinggi memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali.
Lambang Keraton Yogyakarta Memiliki Makna Filosofis

Di berbagai bangunan Kraton Jogja Anda pasti akan melihat simbol Kraton Jogja berwarna keemasan ini. Lambang atau simbol kerajaan yang dijunjung tinggi masyarakat Mataram. Simbol Kraton Jogja tersebut mempunyai arti serta filosofi yang membawa pada kesejahteraan dan kejayaan Keraton. Simbol atau logo Kraton Jogja tersebut dikenal dengan nama Praja Cihna.
Praja Cihna dibuat oleh Sultan Hamengku Buwono I yang berasal dari bahasa Sansekerta. Praja berarti abdi negara, sedang Cihna berarti sifat sejati. Secara harfiah Praja Cihna bermakna sifat sejati seorang abdi negara.
Menyimpan Koleksi Benda Kesultanan Keraton Yogyakarta
Sebagian kompleks Kraton Yogyakarta kini beralih fungsi sebagai museum benda-benda koleksi milik kesultanan. Kraton Jogja masih menjaga warisan budaya seperti kegiatan upacara adat, dan benda-benda kuno lainnya. Nilai-nilai filosofi dan mitologi masih melingkupi kehidupan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ini.
Koleksi benda-benda disimpan dalam kotak kaca yang tersebar di berbagai ruangan, mulai dari keramik dan barang pecah belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta diorama proses pembuatannya.
Kraton Jogja Berfungsi Sebagai Benteng Pertahanan
Keraton Yogyakarta dibangun dengan luas 1,5 km dikelilingi tembok benteng. Dahulu, Kraton Yogyakarta berfungsi sebagai benteng pertahanan. Benteng tersebut memiliki tebal 3-4 m dan tinggi 3.5 m. Di dalam benteng terdapat lorong sebagai tempat menyimpan senjata amunisi. Pada keempat sudut benteng terdapat bastion dengan lubang kecil sebagai tempat mengintai musuh. Selain itu, di sisi luar benteng juga dibuat parit yang mengelilingi guna menghadang musuh saat peperangan.
Benteng keliling tersebut mempunyai lima gerbang atau plengkung.
- Plengkung Tarunasura atau Wijilan di sebelah timur laut
- Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur
- Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gading di sebelah selatan
- Plengkung Jayabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat
- Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah barat laut
Keberadaan benteng dan gapura tersebut di beberapa bagian mengalami kerusakan dan perubahan.
Pertunjukan Seni Tradisional di Kraton Jogja
Selain berkeliling menyusuri bangunan-bangunan dan menyaksikan koleksi benda milik kesultanan Keraton Yogyakarta, Anda juga bisa menyaksikan beberapa pertunjukan yang digelar di Bangsal Sri Manganti. Pertunjukan ini rutin dipentaskan dengan jam dan hari yang telah ditentukan. Berikut jadwal pertunjukan Kraton Jogja setiap harinya :
- Hari Selasa : Gamelan (uyon-uyon) pukul 10:00-12:00 dan 12:30-14:30
- Hari Rabu : Wayang Golek pukul 10:00-13:00
- Hari Kamis : Wayang Kulit pukul 10:00-13:00
- Hari Jumat : Mocopat (pembacaan puisi Jawa) pukul 10:00-14:30
- Hari Sabtu : Karawitan dan tarian pukul 10:30-13:00
- Hari Minggu : Tarian pukul 10:30-13:00
Untuk memperingati hari-hari tertentu, diselenggarakan pula upacara adat di Bangsal Sri Manganti ini.
Sejarah Singkat Berdirinya Keraton Jogja
Sejarah eksistensi Keraton Kasultanan Yogyakarta tidak terlepas dari adanya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 M yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi 2 bagian. Sebagian dikuasai oleh Susuhunan Paku Buwono III di Surakarta dan sebagian lain dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta.
Kraton Jogja Dibangun Pada 9 Oktober 1755
Pada tanggal 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi mengumumkan daerah kekuasannya dinamakan dengan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kemudian beliau diberi gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Alogo ‘Abdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah.
Selanjutnya beliau memerintahkan untuk memulai membangun Keraton. Lokasi yang dipilih adalah Desa Pacetokan yang diapit Sungai Code di sebelah timur dan Sungai Winongo di sebelah barat. Kraton Jogja dibangun mulai pada 9 Oktober 1755 dipimpin oleh Sri Sultan sendiri.
Kraton Jogja Ditempati Pada 7 Oktober 1756
Kemudian pada 7 Oktober 1756 M, Sri Sultan Hamengku Buwono I dan para kerabat serta pengikutnya mulai menempati Keraton. Diperingati dengan Sengkalan Memet Dwi Naga Rasa Tunggal yang bermakna angka tahun 1682 J atau 1756 M.
Sengkalan Memet Dwi Naga Rasa Tunggal berbentuk ukiran naga berwarna hijau, terdapat di Regol Kemagangan Keraton Jogja.
Kawasan Inti Keraton Yogyakarta Terdiri Dari 7 Lapisan
Kawasan inti Keraton Yogyakarta dibagi menjadi 7 kompleks yang masing-masing dibatasi oleh satu regol, mulai dari Alun-Alun Utara hingga Alun-Alun Selatan. Setiap kompleks terdapat beberapa bangsal di dalamnya.
- Kompleks pertama : Pagelaran dan Siti Hinggil Lor
- Kompleks kedua : Kemandungan Lor
- Kompleks ketiga : Sri Manganti
- Kompleks keempat : Kedhaton
Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencono, Gedong Purworetno, Gedong Jene, Trajutrisno, Bangsal Manis, Kasatriyan, Keputren, Kedaton Kilen, dan Kedaton Wetan - Kompleks kelima : Kemagangan
- Kompleks keenam : Kemandungan Kidul
- Kompleks ketujuh : Siti Hinggil Kidul